Medan - Soppengtoday id -Sidang gugatan perdata terkait nama dan logo Ikatan Wartawan Online (IWO) yang dilakukan Yudhistira (penggugat) terhadap Perkumpulan Wartawan Online (PWO) selaku tergugat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, akhirnya menemui titik terang.
Berdasarkan amar putusan atas perkara No "5/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PLN Niaga Mdn" yang dirilis melalui sistem e-court pada Senin malam, 20 Oktober 2025 dijelaskan di poin mengadili bahwa "Menyatakan Eksekpsi dari tergugat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
"Artisnya jelas disini, eksepsi yang diajukan oleh pihak tergugat lebih dahulu ditolak oleh majelis hakim," tegas kuasa hukum penggugat, Arfan, SH dan Rudi Hasibuan, SH di Medan, Selasa (21/10/2025).
Dijelaskan Arfan, sejumlah poin dalam Eksekpsi mereka yang ditolak itu diantaranya meliputi klaim bahwa mereka pemilik IWO yang sah, mereka sudah mendirikan IWO sejak tahun 2012, mengklaim soal pemecatan 5 ketua PW termasuk kliennya dari Ketua PW IWO Sumut serta permohonan soal pembatalan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas nama dan logo IWO.
"Tapi sangat disayangkan, mereka justru mengklaim bahwa kami (penggugat) kalah lewat berita yang tendensius. Harusnya mereka juga menjelaskan bahwa eksepsi yang mereka sampaikan ke majelis hakim ditolak. Artinya, sejauh ini nama dan logo IWO itu status quo. Silahkan mereka pakai dan kita juga berhak. Tapi ingat, ada konsekekuensi hukum dan sangat memungkinkan pidana jika mereka tetap memaksakan," urai Arfan.
"Lagi pula, kalau tiba-tiba saja pihak tergugat langsung melakukan framing lewat media, ini terlalu prematur, karena putusan lengkapnya juga belum dirilis majelis hakim PN Medan. Tidak perlu tergesa-gesa lah (penggugat) untuk menyatakan seolah-olah mereka menang, lihat nanti kesimpulan utuhnya. Ingat visi misi media, salah satunya adalah memberi edukasi kepada masyarakat, termasuk dalam persoalan hukum. Jadi hanya karena nafsu, hal itu justru diabaikan dan yang terjadi pembodohan termasuk pembodohan terhadap masyarakat," imbuhnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Mappasessu, SH, MH menjelaskan bahwa istilah niet ontvankelijke verklaard merupakan istilah klasik dalam hukum acara perdata yang berasal dari sistem hukum Belanda.
“Putusan ‘tidak dapat diterima’ bukan berarti pihaknya kalah, melainkan gugatan tersebut belum memenuhi syarat formil untuk diperiksa lebih lanjut,” jelas Mappasessu saat dimintai keterangan, Selasa (21/10/2025).
Menurutnya, hakim tidak menilai benar atau salahnya pokok perkara karena menemukan kekurangan pada aspek formil gugatan, seperti legal standing, objek sengketa, atau kompetensi pengadilan.
“Jadi, Penggugat belum kalah secara substansi. Hanya saja, gugatan itu dianggap belum memenuhi prosedur hukum yang benar,” tambahnya.
Posisi Hukum IWO dalam Perkara Ini
Sebagaimana di dalam pemberitaan sepihak di sejumlah media, gugatan tersebut diajukan oleh Yudhistira yang mengklaim hak atas logo organisasi. Namun, dalam amar putusannya, majelis hakim menegaskan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima, dan IWO tidak dinyatakan bersalah secara hukum.
“Dengan putusan itu, posisi IWO tetap sah sebagai organisasi berbadan hukum, dan tidak ada kewajiban hukum yang dibebankan karena substansi perkara belum dinilai,” terang Mappasessu.
Ia menegaskan, bahwa amar putusan tersebut justru melindungi hak kedua belah pihak agar tidak ada keputusan yang tergesa tanpa dasar formil yang kuat.
Dasar Hukum dan Yurisprudensi
Mappasessu juga mengutip sejumlah dasar hukum yang memperkuat makna putusan tersebut.
Menurut Pasal 118 dan 136 HIR, setiap gugatan perdata harus diajukan oleh pihak yang berhak (mempunyai kepentingan hukum) dan kepada pengadilan yang berwenang. Jika tidak, hakim berhak menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Selain itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 205 K/Sip/1973 menegaskan bahwa putusan niet ontvankelijke verklaard bukanlah putusan tentang pokok perkara, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak materiil para pihak.
Sementara dalam Putusan MA No. 2596 K/Pdt/2013, Mahkamah Agung menegaskan kembali bahwa jika gugatan tidak memenuhi syarat formil hukum acara, maka hakim wajib menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
“Artinya, putusan ini sah secara hukum acara. Hakim tidak menolak isi perkara, tetapi mengingatkan agar prosedur hukum ditegakkan secara tepat,” jelas Mappasessu.
Upaya Hukum Masih Terbuka
Meski demikian, lanjutnya, pihak Penggugat masih memiliki hak konstitusional untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Niaga Medan dalam waktu 14 hari sejak putusan diterima melalui e-court, sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan (Banding).
Jika Pengadilan Tinggi tetap menegaskan putusan serupa, maka Penggugat masih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, terutama jika terdapat dugaan kesalahan dalam penerapan hukum acara.
“Jadi jalur hukum belum tertutup. Penggugat bisa memperbaiki gugatan dan mengajukannya kembali dengan dasar hukum yang lebih kuat,” ujarnya.
Dalam penutup pandangannya, Mappasessu mengajak masyarakat untuk tidak tergesa menilai putusan pengadilan sebagai kemenangan atau kekalahan mutlak.
“Hukum bukan hanya soal siapa benar atau salah, tapi bagaimana prosesnya dijalankan dengan benar,” ungkapnya.
Ia menilai putusan Pengadilan Niaga Medan ini merupakan bentuk penegakan asas due process of law, yaitu menjamin setiap gugatan diperiksa sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Ketepatan prosedur hukum adalah bagian dari keadilan substantif. Ini penting agar kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tetap terjaga,” pungkas Mappasessu.